Dulu,
traveling sering dianggap sebagai pelarian—momen untuk melepaskan diri dari
rutinitas, menyatu dengan budaya baru, dan menciptakan kenangan yang intim.
Namun, di era media sosial seperti sekarang, fenomena traveling telah berubah
secara dramatis. Dari sekadar pengalaman pribadi, kini perjalanan sering kali
menjadi konten yang dirancang untuk dilihat dan disukai oleh orang lain.
Pertanyaan besarnya: di tengah obsesi untuk mendokumentasikan setiap momen,
apakah kita masih benar-benar menikmati perjalanan?
Dokumentasi
vs. Pengalaman Langsung
Ada
pesona yang tak terbantahkan dalam membagikan pemandangan spektakuler dari
puncak gunung atau pantai eksotis di feed Instagram. Namun, terlalu fokus pada
pengambilan gambar yang "sempurna" bisa mengalihkan kita dari
keajaiban momen itu sendiri. Alih-alih merasakan hembusan angin atau keheningan
alam, kita sibuk mengatur angle, filter, dan caption. Riset dari Journal of Experimental Social
Psychology menyebutkan bahwa orang yang terlalu banyak
memotret cenderung memiliki memori yang lebih kabur tentang pengalaman tersebut
dibandingkan yang menikmatinya secara langsung.
Tekanan
Sosial dan "Fear of Missing Out" (FOMO)
Media
sosial kerap memunculkan perasaan bahwa kita harus mengunjungi tempat-tempat
yang "instagramable" dan populer. Destinasi sering dipilih
berdasarkan tren, bukan ketertarikan pribadi. Akibatnya, banyak traveler yang
merasa wajib mengunjungi spot yang sama dengan influencer, meski sebenarnya
tidak sesuai dengan minat mereka. Perjalanan menjadi seperti checklist—lebih
tentang membuktikan diri di hadapan orang lain daripada mengeksplorasi
keinginan sendiri.
Koneksi yang
Palsu?
Kita
mungkin punya ratusan like dan komentar di foto perjalanan, tetapi sering kali
merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk
berbincang dengan penduduk lokal, merenung, atau sekadar menikmati kehadiran
teman perjalanan, terkuras untuk mengurus notifikasi. Koneksi virtual yang kita
dapatkan sering kali dangkal, sementara koneksi nyata terabaikan.
Namun, Tidak
Semuanya Negatif
Media
sosial juga membawa dampak positif dalam traveling. Platform seperti YouTube,
Instagram, dan blog perjalanan memberikan akses informasi yang luas, membuat
kita lebih mudah menemukan destinasi tersembunyi, tips budget, atau pengalaman
budaya yang autentik. Banyak komunitas traveler yang terbentuk secara online,
memberikan dukungan dan inspirasi. Media sosial juga menjadi alat untuk
mendokumentasikan kenangan dengan kreatif, yang bisa kita lihat kembali di masa
depan.
Menemukan
Keseimbangan
Lalu,
bagaimana caranya agar kita tetap bisa menikmati perjalanan di era digital ini?
1.
Sengaja "Offline": Cobalah untuk
menetapkan waktu bebas gadget selama perjalanan. Nikmati makan malam tanpa
memotretnya, atau simpan ponsel saat menikmati matahari terbenam.
2.
Fokus pada Pengalaman, Bukan Konten: Tanyakan pada diri
sendiri: "Apakah saya benar-benar ingin ke sini, atau hanya karena tempat
ini populer di media sosial?"
3.
Dokumentasi yang Bermakna: Alih-alih memotret setiap sudut, pilih
momen yang benar-benar spesial. Buat jurnal perjalanan singkat atau koleksi
foto yang personal, bukan sekadar untuk pamer.
4.
Gunakan Media Sosial sebagai Inspirasi, Bukan Tekanan: Ambil referensi dari
platform digital, tapi tetap ikuti intuisi dan minat pribadi saat merencanakan
perjalanan.
Traveling
di era media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kita mendapatkan
kemudahan akses informasi dan cara baru untuk berbagi cerita. Di sisi lain, ada
risiko kehilangan keaslian pengalaman karena terlalu sibuk mengurusi dunia
virtual. Kuncinya adalah kesadaran—menyadari bahwa nilai sebuah perjalanan
tidak diukur dari jumlah like, tetapi dari kedalaman pengalaman yang kita
rasakan.
Mungkin,
saat kita belajar meletakkan ponsel sesekali dan benar-benar hadir di momen
perjalanan, kita akan menemukan kembali kenikmatan yang sesungguhnya: rasa
kagum pada dunia dan ketenangan dalam diri sendiri.

Post a Comment